Tak Pernah Cukup?

    Aku tumbuh bukan hanya sebagai anak, tapi juga sebagai bahu. Bahu yang sejak kecil sudah diminta untuk kuat, bahkan ketika aku sendiri masih ingin digendong. Ada kalimat-kalimat tak terucap yang terus terngiang dalam benakku: "Kamu harus menjadi contoh..", "Kamu yang lebih Tua, mengalah dong sama adik...", "Jangan egois, kamu anak pertama, adikmu harus begini, harus begitu..."
Aku mengerti, sungguh. Tapi tak bisa kupungkiri—di balik semua pengertian itu, ternyata seringkali aku merasa tidak cukup, ternyata perasaan mengalah itu melelahkan hati dan pikiranku. Menjadi kakak perempuan pertama bukan sekadar urutan lahir. Itu adalah jabatan seumur hidup yang datang tanpa permisi. Sejak kecil aku diajari untuk menjaga, mencontohkan, menengahi, menenangkan. Aku belajar mengalah. Aku belajar memendam. Aku belajar diam saat ingin berteriak. Dan dari semua pelajaran itu, aku tumbuh—tapi bukan karena waktunya. Aku tumbuh karena keadaannya.

    Yang sering dilupakan dunia: aku juga anak. Aku ingin dimanja. Aku ingin dianggap penting, bukan hanya karena bisa diandalkan. Tapi seringkali, aku merasa seperti kehilangan hak itu. Aku ingin bercerita tentang capekku di sekolah, tapi cerita itu tertelan oleh tugas yang harus aku selesaikan. Aku ingin menangis di hadapan orang tua, tapi takut disebut cengeng. Perlahan, aku belajar bahwa menjadi anak pertama berarti menjadi dewasa sebelum sempat menjadi anak-anak seutuhnya. Dan itu menyakitkan dalam diam. Sudah banyak yang aku lakukan. Mengerti, membantu, berkorban, mengalah. Tapi rasanya tetap belum cukup. Harapan terus bertambah, ekspektasi terus meninggi. Aku mulai mempertanyakan diriku sendiri:

"Apa aku buruk karena merasa lelah?"
"Apa aku egois karena ingin sesekali memikirkan diri sendiri?"
"Kenapa semua ini masih terasa kurang, bahkan ketika aku sudah memberikan segalanya?"

Ada titik di mana aku merasa tidak cukup jadi anak. Tidak cukup jadi kakak. Tidak cukup jadi manusia.

Tapi waktu berjalan. Pelan, tapi membawa banyak kesadaran. Aku mulai melihat bahwa luka-luka masa kecilku itu nyata. Tapi aku tidak ingin tinggal selamanya di sana. Aku bukan gagal menjadi anak sulung. Aku hanya lupa bahwa aku juga manusia. Aku juga berhak merasa lemah. Aku juga boleh mengatakan, "Aku capek." Pelan-pelan aku belajar bahwa menjadi anak sulung bukan berarti kehilangan diriku. Aku bisa jadi kakak, dan tetap punya ruang untuk menjadi aku. Hari ini, aku tidak sepenuhnya sembuh. Tapi aku bangkit. Dengan luka yang kini kupeluk, bukan kutolak. Dengan peran yang kini kujalani, bukan kubenci.

Menjadi anak sulung perempuan itu bukan kutukan.
Ia adalah Anugrah, Berkat, dan proses.
Ia adalah kekuatan yang dibangun dari air mata, keikhlasan, dan pelajaran diam-diam.

Dan aku bersyukur, karena dari semua yang menyakitkan, aku bisa menemukan diriku.


🌈 Ini Pesanku untuk Diriku Sendiri (dan Mungkin untukmu juga)

Aku adalah anak pertama dan kakak perempuan . Tapi di atas semua itu, aku adalah jiwa yang juga layak untuk dicintai dan diberi ruang. Kini aku tahu, meski rasanya tak pernah cukup, aku tetap berharga. Dan itu cukup bagiku untuk terus melangkah. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini